Andin,
Vita, Lita, Ial, Zaky, dan Andra masih duduk ditempat
yang sama. Sepertinya mereka sudah meminum cangkir kopi kedua mereka, dan
sempat memesan beberapa cemilan yang tersedia di café.
“Maaf
lama. Client gue nelpon tadi”, aku kembali duduk di kursi ku. Meminum kopi yang
sekarang sudah dingin karena ku tinggal lama. Mengambil beberapa cemilan
yang tersedia di meja. Aku dan Tyo kembali duduk berdampingan, dia kembali sibuk
dengan ponselnya.
“Iya,
nggak apa-apa Tita. Tapi tumben mau ngangkat, biasanya lu paling males diganggu
client kalo bukan jam kerja”
“Client
gue yang ini termasuk orang penting, jadi mau nggak mau, gue kudu jawab”, aku
mencoba mengelak perkataan Vita. Aku memang tidak pernah mau menjawab telepon
client diluar jam kerja, dan mereka semua tahu
kebiasaanku.
“Guys,
gue ngadain acara silaturahmi ini untuk minta maaf karna kemaren gue udah 2
kali nggak bisa ikut hiking bareng kalian. Bukan karna gue sok sibuk, tapi
emang karna kerjaan gue kali ini nggak bisa di tinggal. Lusa gue bakal Jambi,
dan insha allah, setelah pulang dari Jambi gue bisa hiking bareng kalian lagi”
Aku terdiam mendengar perkataan Tyo barusan, menahan air mata yang
tiba-tiba terus mendorong ingin keluar. Tyo hanya akan pergi ke Jambi untuk
beberapa saat, seharusnya aku tidak perlu sedih. Aku dan Tyo tidak memiliki
hubungan khusus, bahkan untuk sekedar bertukar kabar pun tidak kami lakukan selama
ini. Sekarang, apa alasan ku menangis.
“Tita, lu kenapa?”, Lita memegang tangan kanan ku, menyadarkan ku.
“Hah? Nggak ko. Kenapa emangnya?”
“Mata lu merah, Ta”
Aku sedikit kaget mendengar perkataan Lita, dan segera mengeluarkan cermin
berwarna ungu muda dari tas ku.
“Oh, tadi gue sempet kelilipan pas di atas, terus gue sempet kucek-kucek
mata. Merah deh jadinya. Gue ke toilet dulu ya”. Aku meneteskan beberapa tetes
obat mata ke mata ku, dan segera kembali berkumpul dengan yang lain.
Kami bersembilan kembali menyusun rencana untuk pendakian berikutnya, tidak
untuk waktu dekat ini melainkan untuk 4 bulan yang akan datang.
***
Sekitar jam setengah sebelas malam kami menyudahi
pertemuan kami. Mobil kami seketika ramai karena ada Andin dan Vita. Mereka terus
membicarakan tunangan mereka masing-masing, menyusun rencana tentang konsep
pernikahan mereka nanti.
“Kalian beneran mau nikah tahun depan?”, Lita menengok ke
arah Vita dan Andin yang ada di jok belakang.
“Insha allah, jika Tuhan mengijinkan Lit. Kan nggak baik
nunda-nunda pernikahan”, jawaban Andin kali ini sedikit religius, membuat kami
semua tersenyum mendengarnya. Vita mengangguk setuju dengan perkataan Andin.
“Lu kapan punya pacar Ta? Masa kalah sama Lita”
Vita lagi-lagi menanyakan hal yang sama pada ku. Sampai
saat ini, hanya akulah yang masih sendiri. Lita sudah berpacaran dengan Andra
sejak setahun lalu. Mereka berdua benar-benar serasi, sikap mereka yang
cuek dan sering bercanda membuat mereka selalu kompak. Lita yang sangat doyan
makan, dan Andra yang sekarang bekerja sebagai kepala koki di salah satu hotel
di Jakarta. Aku memilih tidak berpacaran sampai saat ini. Mungkin karena
perasaan kagumku pada Tyo yang terlalu besar, sehingga sulit bagiku untuk
membuka hati kepada pria lain.
“Pacar? Langsung nikah gue maunya. Bismillah aja, semoga
jodohnya cepet dateng”, aku tersenyum di balik kemudi. Sekarang bagian ku untuk
menyetir.
“Eh iya, denger-denger Tyo udah tunangan loh. Tapi nggak
tau bener apa nggaknya sih”
Aku merasa sesak mendengar perkatan Lita kali ini. Aku
terus berusaha konsentrasi untuk menyetir.
“Dari siapa kabar
itu Lit?”
“Andra. Seminggu yang lalu dia bilang itu ke gue. Tapi
gue nggak nanya-nanya lagi”
“Pasti tunangannya sama religiusnya sama Tyo”
“Kayanya sih gitu”
Lita, Vita, dan Andin terus membicarakan Tyo, membuatku
semakin tidak betah berada satu mobil dengan mereka. Aku memilih diam
mendengarkan pembicaraan mereka.
***
Pada
akhirnya....
Persimpangan
jalan itu menjadi titik akhir aku melihatnya.
Sekarang,
semua berakhir.
Bukan tidak
ingin terus mengejar.
Tapi memang
sudah saatnya kami berpisah.
Melupakan
semua kenangan kecil antara kami.
Dia yang
terus berjalan sambil menatap masa depan.
Dan aku yang
kini berada pada titik masa lalu.
-Tita -
***
To : Tita
From : Tyo
Ta, besok ada waktu kosong selepas zuhur?
Ada yang ingin aku bicarakan.
Aku tunggu di Zoo Cafe.
Insha allah ada Yo.
Sampai ketemu besok. J
Aku kembali membaca buku religi yang baru aku beli tadi
siang. Semenjak aku bertemu dengan Tyo tiga tahun lalu, aku mulai mematangkan
pengetahuan agama ku. Lebih mendekatkan diri pada-Nya agar aku tidak salah
jalan lagi kali ini. Aku selalu mencurahkan semua perasaanku terhadap Tyo seusai
shalat, semua itu membuat ku lebih tenang, membuat ku lebih mengerti apa itu
cinta. Cinta yang selama ini aku rasakan dalam diam.
Tok tok tok...
“Ta,
belum tidur?”, Lita sedang berdiri di balik pintu kamar ku.
“Belum. Lu kenapa belom tidur? sekarang kan udah jam 12
malam, biasanya jam 9 aja udah tidur”
Lita melangkahkan kakinya ke dalam kamarku, duduk di
kursi yang ada di samping kasur ku. Walaupun kami kembar, sekarang kami sudah
dewasa dan punya privasi masing-masing. Sejak awal kami mengontrak rumah ini,
kami langsung memutuskan untuk tidur di kamar terpisah.
“Gue nggak bisa tidur nih. Perasaan gue gelisah. Lu nggak
kenapa-kenapa kan Ta?”, aku terdiam mendengar pertanyaan Lita. Benar. Lagi-lagi
batin Lita merasakannya. Aku membenarkan posisi duduk ku, menutup sebentar buku yang
ku baca.
“Lit, batin lu bener. Seharusnya gue cerita ini semua ke
lu dari dulu”, aku menarik napas pelan, Lita mengangguk meminta ku meneruskan
kalimat ku.
“Tyo. Rasa kagum yang dulu sempet gue bilang ke lu,
sekarang berubah jadi rasa suka....”
“Tapi, Tyo udah tunangan Ta”, Lita memotong perkataan ku.
“Iya, gue tau. Sekarang gue lagi nyoba pelan-pelan untuk
ngelupain dia ko. Gue nggak mau suka sama suami orang”, aku tersenyum pada
Lita. Lita mengangguk pelan lalu memelukku. Sudah lama aku tidak cerita tentang
perasaan suka ku pada seseorang. Selama ini selalu saja Lita yang selalu
menceritakan tentang hubungannya dengan Andra.
***
Minggu.
Aku dan Lita sudah sibuk
sejak pagi. Kami memutuskan untuk menata ulang pot-pot yang ada di halaman
depan. Membersihkan jendela dan kusen yang mulai kotor. Menata ulang posisi
semua perabotan rumah, yang untungnya hanya sedikit.
“Iya Ndra,
aku lagi beresin rumah sama Tita. Kamu kesini dong, bantuin aku sekalian beliin
sarapan buat aku dan Tita.”
“Iya.”
“Makasih
Andra, kamu emang jagoan aku. Hahahaha....”
Aku tersenyum melihat Lita yang sibuk berbicara lewat
telepon dengan Andra. Aku mulai berfikir jika Lita menikah dan hanya tinggal
aku yang menghuni rumah ini.
“Tita......, nanti Andra dateng bawa sarapan. Gembok
pagernya buka aja”
“Iya”, aku segera membuka gembok yang masih menempel di
pagar. Sudah menjadi kebiasaan kami selalu menggembok pagar karena memang
jarang ada tamu yang datang ke rumah.
Lita membersihkan jendela, kusen, dan perabotan dari
debu. Aku bagian menyapu, mengepel, dan menata ulang posisi pot di halaman
depan.
Lita mulai menyalakan musik dari laptopnya di kamar dan di
sambung speaker agar bisa terdengar oleh kami. Lagu Love Today milik Mika
selalu menjadi lagu favorit kami setiap hari Minggu. Setiap mendengar lagu itu,
kami merasa semangat.
♫♫
Everybody's
gonna love today,
Gonna love
today, gonna love today.
Everybody's
gonna love today, gonna love today.
Anyway you
want to, anyway you've got to,
Love love
me, love love me, love love.
I've been
crying for so long,
Fighting
tears just to carry on,
But now, but
now, it's gone away.
Hey girl why
can't you carry on,
Is it 'cause
you're just like your mother,
A little
tight, like to tease for fun,
Well you
ain't gonna tease no other,
Gonna make
you a lover.
♫♫
***
“Tada....... Makanan datang”, Lita sedikit berlari masuk
ke dalam rumah membawa dua kantong plastik berisi sarapan untuk kami, Andra
mengikutinya juga membawa satu plastik berisi minuman jus.
“Hai Tita, masih semangat aja”, Andra mulai mengeluarkan
semua makanan dan minuman dari plastik dan menaruhnya di meja ruang tamu. Aku
hanya tersenyum padanya kali ini, pot-pot masih kutaruh asal di
halaman. Aku bingung harus menatanya seperti apa agar lebih terlihat fresh.
Lita sudah kembali dari dapur dan membawa piring dan
garpu untuk kami. Dia sudah menyelesaikan semua tugasnya hari ini.
“Tita, makan dulu deh. Nanti aja ngurus potnya, biar
Andra yang ngatur”.
Aku menyetujui perkataan Lita, dan segera ikut sarapan
bersama Lita dan Andra. Nasi uduk yang sudah menjadi langganan Lita dan Andra
menjadi santapan kami, Andra juga membelikan jus jeruk dan sirsak untuk kami.
Kami bertiga mulai mengobrol sambil menghabiskan sarapan
kami. Aku terus menggoda Lita dan Andra, menanyakan kapan mereka akan memutuskan
untuk menikah. Orang tua kami sudah setuju dengan hubungan Lita dan Andra,
Andra juga sudah cukup mapan untuk menghidupi Lita nanti.
“Kaka ipar, gue sih sebenernya mau nikah cepet-cepet sama
Lita. Menjauhkan fitnah gitu, tapi Litanya tuh yang masih belom siap. Katanya
mau nunggu lu nikah dulu”.
“Hahahaha.... Jangan nunggu gue. Gue masih belom nemu
orang yang tepat sampe sekarang. nanti juga kalo udah nemu, langsung nikah”.
Obrolan kami mulai mengarah ke masa depan Lita dan Andra.
Lita ingin foto prewed saat pendakian jika menikah nanti. Impian semua para
pendaki wanita sepertinya sama.
***
Aku terus mengecek
jam di pergelangan tangan kiri ku. Sudah setengah jam aku menunggu Tyo di Zoo
Cafe. Kopi yang ku pesan sudah mau habis, aku terlalu gelisah kali ini sehingga
aku terus meminum kopi ku. Baru kali ini Tyo ingin bertemu dengan ku, dan dia
membuat kesan yang buruk.
Aku mulai menyalakan laptop untuk mengerjakan tugas
kantor yang belum sempat aku lanjutkan sejak kemarin. File ‘Reunion’ masih
tersimpan rapi di dokumen pribadi ku, file berisi foto-foto saat pendakian
bersama Lita, Andra, Tyo, Vita, Andin, Zaky, Ial, dan Lilo.
“Tita, maaf gue telat”, Tyo langsung duduk di depanku,
aku hanyat tersenyum padanya walau ada kesal karena harus menunggunya lama di
sini.
“Ada apa sih Yo? Tumben banget lu ngajak gue ketemu”
“Ta, gue udah tunangan”
Aku terdiam, dada ku mulai sesak, air mataku terus
mendorong ingin keluar. Aku tidak bisa berbuat apapun sekarang. Perasaan ku
selama ini pada Tyo, harus benar-benar aku lupakan. Dia telah memilih wanita
lain, wanita yang lebih baik dari ku. Air mataku benar-benar mengalir sekarang.
Hati ini terlalu sakit. Aku harus merelakan Tyo pergi meninggalkan ku.
“Ta, maaf. Keputusan ini harus gue ambil....”
“Yo, jangan minta maaf ke gue. Gue nangis bukan karna
sedih, tapi gue turut seneng ngedenger lu udah tunangan, artinya lu bakal nikah
nggak lama lagi”
Aku menghapus air mataku, mencoba tersenyum pada Tyo yang
sejak tadi terus menatap kearah ku. Tatapan yang semakin membuat aku sedih
karena kehilangannya. Tatapan yang pertama kali aku lihat selama aku
mengenalnya.
“Yo, gue ada janji. Nggak bisa lama-lama nih. Gue balik
duluan ya. Salam untuk calon istri mu”, aku berdiri dan meninggalkan Tyo yang
masih duduk di bangkunya.
Air mataku kembali mengalir mengingat ucapannya tadi. Aku
terus berjalan tanpa tahu harus kemana, pikiranku benar-benar buntu sekarang.
Aku hanya ingin pergi sejauh mungkin dari Tyo, aku tidak ingin mengingat semua
kenangan tentang Tyo.
***
Aku masih duduk di pinggir pantai, menatap matahari yang
mulai terbenam, sambil mendengarkan musik dari MP3 player ku. Lita beberapa
kali menghubungi ku, tapi selalu aku abaikan. Lita hanya akan memastikan
keadaanku sekarang, lalu menanyakan keberadaanku, dan akhirnya dia akan
menjemputku. Sekarang aku jauh lebih tenang, aku mulai bisa menerima perkataan Tyo
tentang pertunangannya.
Tidak semua kisah cinta dalam diam berakhir seperti kisah
Fatimah dan Ali yang berakhir pada pernikahan, tidak semua kisah cinta berakhir
indah seperti kisah Aladdin dan Jasmine, dan tidak semua kisah cinta berakhir
tragis seperti kisah Romeo dan Juliet. Semua punya kisahnya masing-masing. Tuhan
tidak pernah salah dalam mengurus takdir, Tuhan tidak pernah tertukar dalam
mengurus jodoh.
♫♫
Ku melintas pada satu masa
Ketika ku menemukan cinta
Saat itu, kehadiranmu
Memberi arti bagi hidupku
Meskipun bila saat ini
Kita sudah tak bersama lagi
Ada satu yang kurindu
Kehangatan cinta dalam
pelukanmu
Biarkan aku melukiskan bayangmu
Karena semua mungkin akan sirna
Bagai rembulan sebelum fajar
tiba
Kau selalu ada walau tersimpan
Direlung hati terdalam.
Biarkan aku melukiskan bayangmu
Karena semua mungkin akan sirna
Bagai rembulan sebelum fajar
tiba
Kau selalu ada walau tersimpan
Direlung hati terdalam.
Karena semua mungkin akan sirna
Bagai rembulan sebelum fajar
tiba
Kau selalu ada walau tersimpan
Selalu kusimpan, direlung hati
terdalam.
♫♫
***
“Tita............ Lu kemana aja? Gue khawatir. Gue
telepon nggak di angkat, gue sms nggak di bales”, Lita langsung memelukku saat
aku masuk rumah. Aku belum mampu mengatakan apapun pada Lita. Hati ku kembali
sakit melihat sikap Lita saat ini, kembali mengingat pembicaraan ku dengan Tyo
di cafe tadi.
“Sorry Lit udah bikin khawatir. Gue nggak
kenapa-kenapa kok, udah ya gue ke kamer dulu. Cape, mau istirahat”.
Aku meninggalkan Lita di ruang tamu, ada Andra di
sana yang pasti akan menenangkannya. Hati dan fisik ku sangat lelah sekarang.
Aku berbaring di atas kasur ku, melihat ke arah langit-langit kamar yang
sengaja ku cat biru langit.
Aku
rindu awan...
Aku
rindu Mandalawangi..
Aku
rindu kebersamaan ku dengan Tyo tiga tahun lalu..
Aku
rindu melihat senyumnya..
♫ Is this love... Feeling restless inside... ♫
Aku meraih ponselku yang sudah berdering beberapa
kali, nomor tidak dikenal. Mungkin seorang client.
“Tita....”,
Aku terdiam, perasaan ku mulai
tak karuan setelah mendengar suara itu. Ada rasa kesal, senang, sekaligus
sedih. Aku menarik napas panjang mencoba mengatur suara ku agar menjadi normal.
“Iya, saya Tita”
“Maaf
ganggu, gue Tyo. Lu baik-baik aja kan Ta?”
“Iya Yo. Gue baik kok. Lu udah sampe di Jambi?
Jangan lupa bawa oleh-oleh khas Jambi ya kalo pulang ke Depok”, aku terus
mencoba menetralkan sikap ku pada Tyo. Aku tidak ingin dia tahu keadaan ku
sekarang, dia sudah memiliki tunangan dan aku tidak boleh mengganggunya.
“Iya
Ta, ini baru sampe hotel. Pasti gue bawain kok. Mmmm.... Ya udah, selamat
istirahat ya Ta. Sorry ganggu”
“Iya, selamat istirahat juga Yo...”
Aku segera menutup telepon setelah Tyo menutup
teleponnya lebih dulu. Entah apa yang ada dipikiran Tyo saat ini, apa alasan Tyo
menghubungi ku tengah malam begini. Dia benar-benar seorang pria yang baik.
***
3 Bulan Kemudian
To : Tita
Tita, seharusnya
aku mengatakannya tadi, tapi mungkin karena aku terlalu memikirkan tentang
pertunangan ku sehingga aku lupa menyampaikan hal yang jauh lebih penting.
Tita..
Terima kasih atas perasaan mu selama ini padaku.
Aku sudah lama mengetahuinya, walaupun kamu belum
pernah mengucapkannya padaku. Aku terkadang membaca tulisan di blog milik mu.
Aku bersyukur kamu bisa menemukan apa arti ‘keyakinan dan Tuhan’ dalam hidup.
Kamu harus tetap menjaganya selalu.
Tita..
Maaf, aku kembali membuat mu sakit hati atas
pertunangan ku. Tapi, pasti Tuhan sudah menyediakan laki-laki yang lebih
baik dari ku untuk mu.
Aku senang melihat kamu tersenyum, tertawa, bahkan saat kau sedang merayu
yang lain dengan canda mu.
Tita..
Aku mengkhawatirkan mu.
Ku harap kamu benar-benar bahagia atas pertunangan ku. Jangan pernah
meneteskan air mata di depan laki-laki. Kau adalah perempuan yang tangguh.
La
Takhaf Wa La Tahzan. Innallaha Ma’ana...
-
Tyo -
Lututku lemas, aku terjatuh dan terduduk di lantai. Air
mataku tidak berhenti setelah membaca surat yang diberikan Andra pada ku. Surat
dari Tyo, yang belum sempat ia berikan padaku. Dadaku benar-benar terasa sesak
sekarang, ada rasa sakit hati campur haru.
Tyo, dia meninggal dua bulan lalu. Pesawat menuju
Papua yang ditumpanginya mengalami kecelakaan, dan semua penumpang dan awak
kapal dinyatakan meninggal dunia. Aku sempat menghadiri pemakamannya, dan
bertemu dengan tunangannya. Wanita yang cantik dan solehah, dia juga ramah.
Benar-benar wanita yang sempurna.
Semua kenangan tentangnya seketika muncul, kenangan
kami bersembilan, dan semua kenangan pendakian yang kami lakukan bersama.
Tyo,
terimakasih...
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar