12 April 2014
Pintu gerbang “Selamat Datang”
merupakan titik awal pendakian kami. Tak ada lagi jalanan aspal. Tanah pijakan
yang lumayan lembab, pohon-pohon yang sudah bisa dibilang rapat, dan tanjakan
tentunya. Kami terus berjalan, sesekali pula kami istirahat.
Saya kurang olahraga!
Nafas yang semakin
terengah-engah, keringat pun tidak berhenti mengalir dari tubuh saya. Bisikan
hati kembali muncul setiap kali saya merasa lelah, “Shinta kuat? Ini Salak! Bukan Prau atau Pangrango! Puncak masih jauh! Kapan
terakhir olahraga? Berapa kali mendaki bawa cerrier? Sudah ijin ke mama papa?”
Sekitar pukul 10 pagi kami sampai
di Simpang Bajuri. Persimpangan antara jalur menuju puncak Gunung Salak 1 dan jalur menuju Kawah Ratu.
Ada sungai kecil di sini, kami
pun mulai memasak untuk brunch (breakfast-lunch) kami hari ini. Susu, energen,
kopi, mie rebus, nasi, tempe kering + ikan teri, dan RENDANG! (terimakasih
untuk sahabatnya Wahyu yaitu bapak Azizon yang sudah membekali Wahyu sedikit
Rendang dan berhasil membuat kami berdendang)
Rendang! |
Makanan sudah tersaji, rendang pun sudah menggoda, tapi apa daya lambung saya yang sudah terlanjur membuat saya mual karena magh sudah kambuh sejak pagi, membuat saya tidak terlalu ingin makan banyak, padahal ada RENDANG! Ah, lambung ini tidak bisa diajak kompromi...
Perdebatan Batin...!
Saat yang lain asik dengan santapan mereka kali ini, saya akhirnya duduk di samping sungai kecil dengan Tifah. Bukan! Kami tidak bertengkar! Kami hanya membicarakan hal kecil tentang sebuah keyakinan (bukan agama). Tifah sedikit menyadarkan saya bahwa pendakian kali ini tidak mudah.
Apa yang kami inginkan kali ini? Mengapa kami mendaki? Untuk apa kami berjalan hingga saat ini?
Entah kalian paham atau tidak, ini tidak terlalu mudah untuk saya! Bukan hanya fisik yang diuji, tapi juga mental!
Setelah semua normal, kami berdua kembali berkumpul dengan yang lain. Menyantap hidangan yang sudah ditinggalkan oleh penyantap sebelumnya. Dan, efek rendang mulai terasa. Dimulai dari obrolan kami tentang umur Iqbal yang tidak seimbang dengan wajahnya, mungkin menjadikan sebab sampai sekarang dia sulit mencari seorang istri. #ups (Penjelasan : Iqbal sudah tua, tapi wajahnya masih terlihat muda)
"Karena kebahagiaan itu bukanlah hanya dihiasi bunga, bunga senyuman,
malah ia juga diwarnai dengan tangisan. Dengan syarat, ia disertai Tuhan." - ifrosa
Ini Perjalanan Macam Apa...?
Dimulai dari Iqbal yang mengkaitkan semua obrolan dengan hati, akhirnya lama-kelamaan kami semua ikut bercanda tentang hati. Tawa kami mampu meramaikan Simpang Bajuri siang itu. Oke, Ini Pendakian Asmara, mungkin!
Pukul 11 Siang
Kami melanjutkan pedakian yang sebenarnya. Saya dan Tifah diwajibkan menjadi Team Leader. Namun lama-kelamaan kami selalu berkata, "silahkan duluan" dan menjadikan kami berjalan di Team Sweaper. Beberapa kali saya mencoba jalan di depan, tapi pada akhirnya saya kembali ke belakang.
Trek yang lumayan menguras tenaga! Banyak jalur lumpur kali ini. Kami harus mencari pijakan batang kayu atau akar agar kami tidak terjerembab dalam masa lalu lumpur. Lompat sana - lompat sini, karena terkadang sebuah langkah belum mampu membuat kami terbebas dari lumpur.
Kami berjalan-terus berjalan!
--- terpisah ---
Saya, Tifah, Mamduh, Iqbal, dan Bang Peppy sudah terpisah dibelakang dari Wahyu, Mahdi, Abdan, Toro, Riska, dan Irma yang entah sudah sampai mana.
Mungkin ini efek rendang!
Disepanjang perjalanan, Mamduh dan Iqbal terus menerus bercanda gombal, dan membuat yang lainnya hanya tertawa dan sesekali berkata, "cukup!".
Mamduh dan Iqbal yang tidak ada hentinya untuk bicara gombal satu sama lain, Bang Peppy yang mau-tidak-mau akhirnya ikut terjerumus dalam gombalan mereka, Saya dan Tifah yang menatap miris melihat kaum adam yang haus-akan-kasih-sayang di hadapan kami SANGAT MERASA IBA pada mereka. Sempat bertanya dalam hati, "Sebegitu sulitkah menjadi kaum adam?"
Pukul 4 Sore
Kami berlima istirahat untuk shalat berjamaah. Dari kejauhan terdengar teriakan, "Kompor minta satu....", yang entah itu suara Wahyu atau Mahdi, karena telinga kami yang tidak terlalu tajam untuk mengecek itu suara siapa. Mungkin, mereka tidak terlalu jauh dari kami dan mungkin pula mereka berencana ingin memasak, tapi mereka baru tersadar hanya ada tabung gas di cerrier mereka. Hehehehe...
Sekitar setengah jam istirahat, kami melanjutkan pendakian. Kami sedikit lebih diam, karena mulai sekarang kami harus FOKUS.
Selamat sore untuk lautan awan, sambil nunggu Iqbal 'nabung' setelah "Webbingan" |
Mencoba Selfie setelah Webbingan, dan tangan gemeteran, jadi BLUR MEEEN!! |
Puas selfie-an yang kebanyakan hasilnya BLUR, kami melanjutkan pendakian. Hari mulai gelap, matahari sudah bersembunyi namun bulan belum terliat, lampu senter mulai menerangi jalur kami, suara langkah kaki dan beberapa kali kata, "senterin dong" menghiasi pendakian kami.
"Kalo Udah KM 45 Bilang Ya..."
Bang Peppy selaku orang tua yang sangat kami hormati, membuat kesepakatan, saat di KM 45 Bang Pep mau lebih dulu ke puncak. Kompor menjadi alasan utama! Nanti Bang Pep kembali lagi dan membawa tenaga.
10 Menit ... 20 Menit ... 30 Menit ....
Mana KM 45-nya??
Kami, para muda-mudi merasa sedikit menjadi korban PHP kali ini. Sesekali Iqbal dan Mamduh membuat lelucon gombal (lagi) agar saya dan Tifah semangat. Bang Peppy kali ini cukup jadi tim hore.
KM 45..!!
Akhirnyaa......
Bang Pep jalan ke puncak lebih dulu. Saya, Tifah, Mamduh, dan Iqbal memilih istirahat. Berharap Bang Pep kembali dengan cepat (kami kira sudah dekat). Permasalahan selanjutnya, apa kami harus menunggu Bang Pep atau ikut jalan juga? Kami memilih diam di tempat untuk beberapa saat, menikmati kesunyian alam dan suara angin yang masuk diantara celah pepohonan.
Kami sempat mematikan semua headlamp, dan hasilnya..... saya segera menyalakan headlamp kembali. Semua benar-benar hitam! Seolah mata tertutup! Saya takut gelap!
Fiyuh....
Bang Peppy tak kunjung datang, pertanda kami harus kembali berjalan. Sunyi~~~
Setengah jam kami berjalan, Bang Peppy muncul bersama Mahdi. Angin surga sudah terasa kawan!
Saya dan Tifah dibebaskan dari cerrier! Bang Pep dan Mahdi kembali ke puncak dengan langkah seribu. Kami berempat ditinggal (lagi).
PUNCAK...!!!
Akhirnya, sekitar pukul 7 malam, kami berempat sampai puncak Salak. Saya dan Tifah memilih selonjoran di atas terpal yang tersedia. Mamduh dan Iqbal sibuk keliling mencari cerrier dan mencoba mendirikan tenda. Bang Peppy yang hanya bicara, "eh, udah sampe??" pada kami.
Semua terlihat sibuk saat kami datang. Riska dan Irma sudah mulai memotong-motong bakso untuk sop malam ini. "Kak shin, masak apa malem ini?", menjadi kalimat pamungkas yang bisa membangunkan saya dan mengingatkan untuk bertanggung jawab pada semua pemilik perut yang ada di sini.
Selamat malam.... |
"berhasil membuat kami berdendang" eaaa
BalasHapusdendangan cinta nduh~ #eaaa
Hapus