Aku sudah bekerja di
salah satu perusahaan swasta di Jakarta Utara. Aku selalu berangkat
subuh dan pulang malam, semua karena kemacetan di Jakarta. Aku memilih
mengendarai motor matic ku untuk bekerja agar lebih mudah terlepas dari kemacetan.
Hari ini aku akan menemui teman-teman lama ku, Andin, Vita, Zaky, Andra,
Ial, dan Tyo. Sejak pendakian pertama kami, kami menjadi sering hiking bersama. Walaupun tidak terlalu rutin, tapi kami selau saja mengusahakan untuk mendaki bersama.
Kami sering menghabiskan weekend bersama, di cafe, di gunung ataupun
di pantai, hanya untuk
sekedar mengobrol dan merencakan perjalanan bersama.
Beep!
Pulang jam berapa?
Kata anak-anak
kumpul di Zoo Café jam 8
From
: Lita
Lita
sekarang menjadi seorang guru SMK di bilangan Jakarta Timur, pekerjaan yang
sangat berbeda dengan ku. Dia
tidak perlu berangkat pagi dan pulang malam seperti yang aku lakukan selama
ini. Kami berdua sudah memilih pisah dengan orang tua. Kami tinggal di rumah
kontrakan yang tidak terlalu besar di Depok. Sejak ayah ku pensiun, ibu lebih
memilih untuk tinggal di Desa, tempat beliau dilahirkan.
Ini udah pulang, paling sampe Depok jam
7.
Beep!
Oke. Gue
tunggu di rumah ya.
***
Rumah
dengan cat berwarna ungu muda dengan kusen yang berwarna putih, selalu membuat
ku nyaman berada di dalamnya. Ya, itu adalah rumah yang aku dan Lita kontrak
sejak setahun lalu. Beberapa tanaman hias berwarna hijau tersusun rapi di
halaman depan. Akuarium yang berisi dua ekor kura-kura kecil ikut menghiasi
halaman depan rumah ini. Lita sedang memanaskan mesin mobil sedan berwarna
silver yang terparkir di depan rumah. Mobil tua yang
kami beli dengan cara patungan beberapa bulan lalu.
Aku
mengenakan kaos putih panjang yang sedikit longgar dengan corak garis biru
disekitar lengan, jeans berwarna biru pudar, ditambah dengan sepatu kets berwarna
coklat. Sedangkan Lita, dia mengenakan pakaian yang lebih feminim, dan wedges
pink muda dengan hiasan pita kecil.
“Andin
sama Vita mau bareng nggak?”, aku menoleh pada Lita
yang ada di balik kemudi, dia yang menyetir kali ini.
“Katanya
nggak, mereka langsung kesana. Tyo gimana?”
Aku
terdiam beberapa saat mendengar nama itu. Tyo, dia sudah
dua kali tidak hadir dalam acara hiking kami. Dia sibuk dengan pekerjaannya
sekarang, dan aku juga sudah tidak pernah berkomunikasi lagi dengannya.
“Woy,
ditanya. Malah diem. Gimana?”, Lita menyadarkan ku dari lamunan.
“Nggak
tau. Udah langsung ke Cafe aja”, aku tidak ingin banyak
berbicara tentang Tyo saat ini.
Mobil
kami sudah meluncur keluar komplek dan aku mulai menyalakan musik, pertanda aku ingin istirahat dan tidak
ingin berbicara. The Day After Tomorrow yang dinyanyikan oleh
Saybia menjadi lagu pengiring kami. Lagu yang membuat aku mengingat masa-masa
saat aku pertama kali menyukai Tyo, dan juga masa-masa saat aku bersikeras
menghilangkan rasa suka ku padanya.
Please tell me why do birds
sing when you're near me
sing when you're close to me
They say that I'm a fool
for loving you deeply
loving you secretly
But I crash in my mind
whenever you are near
getting deaf, dumb and blind
just drowning in despair
I am lost in your flame
it's burning like the sun
and I call out your name
The moment you are gone
Please tell me why can't I
breathe when you're near me
breathe when you're close to me
I know, you know I'm lost
in loving you deeply
loving you secretly
secretly
But I crash in my mind
whenever you are near
getting deaf, dumb and blind
just drowning in despair
I am lost in your flame
it's burning like the sun
and I call out your name
The moment you are gone
Tomorrow
(say it all tomorrow) I'll tell it all tomorrow
(say it all tomorrow) or the day after tomorrow
(say it all today) I'm sure I'll tell you then
Well, I crash in my mind
whenever you are near
getting deaf, dumb and blind
just drowning in despair
Well, I am lost in your flame
it's burning like the sun
and I call out your name
The moment you are gone
sing when you're near me
sing when you're close to me
They say that I'm a fool
for loving you deeply
loving you secretly
But I crash in my mind
whenever you are near
getting deaf, dumb and blind
just drowning in despair
I am lost in your flame
it's burning like the sun
and I call out your name
The moment you are gone
Please tell me why can't I
breathe when you're near me
breathe when you're close to me
I know, you know I'm lost
in loving you deeply
loving you secretly
secretly
But I crash in my mind
whenever you are near
getting deaf, dumb and blind
just drowning in despair
I am lost in your flame
it's burning like the sun
and I call out your name
The moment you are gone
Tomorrow
(say it all tomorrow) I'll tell it all tomorrow
(say it all tomorrow) or the day after tomorrow
(say it all today) I'm sure I'll tell you then
Well, I crash in my mind
whenever you are near
getting deaf, dumb and blind
just drowning in despair
Well, I am lost in your flame
it's burning like the sun
and I call out your name
The moment you are gone
♫♫
***
Kami
baru sampai di Zoo Cafe beberapa menit lalu. Vita, Andin,
Andra, Ial, dan Zaky sudah lebih dulu sampai di café itu.
“Hai…..
Long time no see”, ucap Andin saat melihat kedatangan ku dan Lita.
Padahal dua bulan yang lalu, kami baru saja bertemu, bukan saat hiking,
tapi memang sengaja bertemu untuk sekedar mengobrol santai melepas penat akhir
pekan.
“Tumben
banget nih ngadain kumpul-kumpul dadakan gini. Ada
apaan sih?”, aku menarik kursi dan duduk di samping Andra.
“Emangnya nggak boleh kumpul?
Itung-itung temu kangen aja. Tyo baru pulang dari Aceh, dia yang ngusulin
kumpul. Mau kasih oleh-oleh kali”, Ial menjelaskan, sambil menyeruput
kopi miliknya.
Aku
kembali terdiam saat mendengar nama Tyo disebut. Tyo yang
selama ini tidak pernah aku dengar kabarnya, dan ternyata dia baru pulang dari
Aceh.
Aceh? Apa yang dilakukannya disana?
Dengan siapa? Apa dia sudah menikah disana?
Pikiranku mulai penuh dengan semua pertanyaan tentang Tyo. Aku merasa
sesak.
“Nah
yang punya hajat akhirnya dateng”
Aku
menoleh kearah pintu masuk café, Tyo baru saja tiba. Dia masih memelihara
jenggotnya, kemeja dengan garis biru, celana bahan berwarna hitam,
dan sepatu pantofel cokelat tua yang seperti baru saja dipoles oleh semir. Tyo
masih terlihat menawan di mataku.
“Assalamualaikum….”,
kami bertujuh tersenyum dan menjawab salam Tyo pada kami. Andra mempersilahkan Tyo
duduk di tempatnya tadi duduk, dan otomatis menjadikan Tyo sekarang duduk
disamping ku.
“Wa’alaikum
salam. Gimana kabarnya Yo?
Dua kali nggak ikut hiking, kayanya udah asik sama kerjaan
ya?”, kali ini Andra yang membuka pembicaraan kami dengan Tyo.
“Alhamdulillah,
baik, sama kaya yang kalian liat sekarang”
“Mau
minum apa Yo? Biar gue yang pesenin”, aku menawarkan
diri untuk memesan minum untuk Tyo.
“Boleh
deh. Caffè latte. Maaf ngerepotin”,
senyumku berkembang.
Aku
pergi menjauh dari meja kami berkumpul, pergi kearah kasir untuk memesan minuman untuk Tyo, aku menyuruh pelayan mengantarkan ke meja kami. Aku memilih pergi ke lantai 2 cafe,
aku ingin menjauh dari Tyo beberapa saat. Perasaan ku padanya sudah tertata
rapi, dan siap untuk dibuang. Semua kisah tentang kami,
sudah menjadi lembaran kenangan untukku. Tapi sekarang, Tyo begitu saja hadir
kembali diantara kami.
To : Lita
Gue
di lantai dua dulu ya, ada telepon dari client.
Beep!
Ok
***
Aku duduk sendirian di meja yang ada dipojok lantai dua café yang sengaja dibuat tidak
beratap. Bulan malam ini sangat indah, langit tidak terlalu gelap. Aku
memejamkan mata sejenak menikmati indahnya malam ini, sambil beberapa kali
mengingat kenangan 3 tahun lalu bersama Tyo.
Ehem…
Aku segera
membuka mata, sesosok laki-laki berdiri di hadapan ku. Tyo. Dia sedang
tersenyum kearah ku. Entah sudah berapa lama dia berdiri disini tanpa memberitahukan ku.
“Udah
selesai telepon dari clientnya? Ngobrol dibawah bareng yang lain yuk”
“Lu
udah lama berdiri Yo?”, Tyo hanya tersenyum padaku, dan
duduk di depanku.
“Gue
nanya, lu malah balik nanya. Udah kelar ya? Kenapa nggak balik ke bawah?”
“Oh
iya. Baru aja kelar ngurusin clientnya, makanya gue meremin mata sebentar
sebelum turun. Client gue cerewet banget tadi”
“Ooo……
Sorry ya gue nggak ikut hiking 2 kali. Ada kerjaan kemaren, lagi
sibuk-sibuknya. Tadi pagi gue baru pulang dari Aceh dan lusa gue kudu ke Jambi,
makanya gue ngajak kumpul. Tapi, lu malah milih
sendirian di sini”
“Sorry
deh, kan tadi ada telpon dari client, jadi ga boleh di tolak”
“Iya
nggak apa ko. Kabar mu gimana?”
Kami
mengobrol banyak, tentang kabar, pekerjaan, sampai pasangan saat ini. Tyo masih
sendiri, bukannya tidak ingin menikah cepat, tapi dia masih terlalu sibuk dengan
pekerjaannya saat ini.
“Yo,
gue kagum ke lu. Kagum dari pas pertama kita hiking bareng. Walaupun umur kita
baru 20 waktu itu, tapi pola pikir lu udah jauh lebih dewasa”, aku tersenyum
kecil padanya. Tyo pun membalas senyum ku.
“Hahahaha….
Dua puluh tahun, ya seharusnya udah
berfikir mateng lah, kan bukan anak kecil lagi. Makasih atas
rasa kagumnya ya Ta”.
Tyo
masih tidak memahami apa maksud ku. Dia memang seperti itu, entah karena memang
tidak peka atau memang sengaja tidak ingin membahasnya, aku tak tahu pasti. Aku
terus menatap kearahnya, dia sibuk dengan ponselnya yang tidak berhenti
berbunyi menandakan pesan masuk.
“Sibuk
ya?”, dia hanya menoleh dan tersenyum padaku, lalu kembali memfokuskan matanya
pada layar ponsel.
“Tita,
maaf ya”, aku terdiam mendengar perkataan Tyo barusan. Tyo segera berdiri dan
mengajakku turun, bertemu dengan teman-teman yang lain. Aku tidak berani
berkata apapun pada Tyo, aku hanya mengikutinya dari belakang. Menatap
punggungnya yang masih tegap seperti terakhir kami bertemu.
“Aku masih terdiam. Menatap nanar punggung yang
semakin menjauh
meninggalkan ku. Apakah ini sebuah jawaban atas perasaanku selama ini?”
meninggalkan ku. Apakah ini sebuah jawaban atas perasaanku selama ini?”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar